Semantik adalah cabang linguistic yang
membahas arti atau makna. Contoh jelas dari perian atau ”deskripsi” semantic
adalah leksikografi: masing-masing leksem diberi periam artinya atau maknanya:
perian semantis.
Di
pihak lain, semantic termasuk tata bahasa juga. Contohya adalah morfologi. Dalam bentuk (inggris) un-comfort-able, morfem un
mengandung arti “tidak”, uncomfortable
artinya sama dengan not comfortable. Demikian
pula, bentuk Indonesia memper-tebal
mengandung morfem memper-,yang
artinya boleh disebut “kausatif”, maksudnya, mempertebal artinya ‘menyebabkan sesuatu manjadi lebih tebal’ (perian
makna dalam ilmu linguistik lazim dilambangkan dengan mengapitnya antara tanda
petik tunggal).
Di
dalam sintaksis ada pula unsur semantik tertentu. Satu contoh saja di sini
kiranya memadai. Analisislah kalimat saya
membangun rumah. Saya disebut
“subjek”, dan subjek itu adalah ‘pelaku’ kegiatan tertentu (yaitu membangun). Sebaliknya, rumah (dalam kalimat tadi) ”menderita”
kegiatan membangun, dan boleh disebut ‘penderita’. Jadi makna tertentu pasti
ada dalam sintaksis, meskipun tentunya bukan makna leksikal; makna itu disebut
“makna gramatikal”.
Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik
yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik.
Kalau istilah ini tatap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran
semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah tidak sama,
sebab secara hieralkial satuan bahasa yang disebut wacana, seperti sudah
dibicarakan pada bab-bab terdahulu, dibangun oleh kalimat ; satuan kalimat dibangun
oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem;
satuan morfem dibagun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon
atau bunyi.
Dari bangun membangun itu, kita bisa bertanya, dimanakah letak semantik?
Semantik dengan objeknya yakni makna, berada diseluruh atau di semua tataran
yang bangun membangun ini: makna berada di dalam tataran fonologo, morfologi, dan
sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk semantik atau kurang tepat,
sebab dia bukan satu tataran dalam arti
unsur pembangunan satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur yang
berada pada semua tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran
itu tidak sama.
Oleh karena itu pula, barangkali,
para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah makna ini, karana
dianggap tidak termasuk atau atau menjadi tataran yang sederajat dengan tataran
yang bangun-membangun itu. Hocket (1954), misalnya, salah seorang tokoh
strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari
kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari lima subsistem, yaitu
subsistem gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem
semantik, dan subsistem fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama derajatnya.
Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan
subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem semantik
disebut bersifat periferel? Karena, seperti pendapat kaum strukturalis umumnya,
bahwa makna menjadi objek semantik
adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sebagaimana
subsistem gramatika (morfologi dan sisintaksis).
B.
Istilah semantik
Kata
semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang
makna ( arti, Inggris:meaning). Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa
inggris. Mengenai sejarah istilah ini dapat dibaca karangan A.W. Read yang
berjudul, An Account of the World
Semantics yang dimuat dalam majalah World, No, 4, tahun 1948, halaman
78-97. Meskipun sudah ada istilah semantic, misalnya dalam kelompok kata
semantic philosophy pada abad ke-17, istilah semantic baru muncul dan
diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika ( American Philological
Association) tahun 1894 yang judulnya Reflected Meaning a Point in Semantics.
Istilah
semantic berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa prancis yang diserap
dari bahasa yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal. Di dalam kedua istilah itu
(semantics, semantique), sebenarya semantic belum tegas membicarakan makna atau
belum tegas membahas makna sebagai objeknya, sebab yang dibahas lebih banyak
yang berhubungan denagn sejarahnya.
Sebelum
dibahas pengertian semantik, ada baiknya diperhatikan beberapa hal yang
diinginkan oleh Samuel dan kiefer yaitu:
1.
Apakah
suatu kalimat mempunyai makna atau tidak?
2.
Apabila
kalimat tersebut mempunyai makna, berapa makna yang terkandung di dalam kalimat
itu?
3.
Apabila
ada dua kalimat, apakah makna umum kalimat-kalimat itu, dan berapa makna yang
terkandung di dalamnya?
4.
Bagaimanakah
kita seharusnya menetapkan hubugan semantik antara kalimat-kalimat yang secara
gramatikal berbeda?
kalimat-kalimat sesungguhnya memiliki inti yang disebut inti logika
yang muncul bersama-sama di dalam persoalan teori semantic formal; inti logika seharusnya
dapat menjelaskan derivasi kalimat sehingga penanda dapat menampung sifat
semantic pada setiap kalimat yang di turunkan; jelas, seperangkat pengertian
maka kalimat lebih luas dari pada kalimat itu sendiri; dan wacana dapat
digunakan untuk menerangkan.
Pendapat Samuel
dan kiefer di atas bertitik tolak dari pengamatan mereka tentang kalimat,
bahkan wacana, dalam kaitannya dengan pembahasan semantic dalam buku ini, apa
yang di kemukakan di atas melampaui makna dalam batas kata, dijadikan
peringatan untuk membahas makna pada tingkat kata.
Diantara pokok-pokok yamg masih perlu dibahas ada semantik, yaitu
penelitian tentang makna atau arti. Makna atau arti hadir dalam tatabahasa,
semantik dapat dibagi atas semantik gramatikal dan semantik leksikal.
Di dalam cakupan semantik ada bidang yang khas, yang dikenal
sebagai “deiknis”. Deiknis adalah sifat semantis sedemikian rupa sehingga
dimensi referensisl kata tertentu tergantung dari identitas penutur. Misalnya,
siapa yang diacu oleh pronomina seperti aku dan kamu tergantung
dari siapa yang menjadi penutur. Di samping semantik leksikal yang terlibat
dalam semantik deiksis, terdapat akibat deiksis untuk tatabahasa pula. Semantik
adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.
C.
Hakikat Makna
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orsng. Ferdinand de
Saussure dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda
linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian
atau ”yang megartikan“ yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie
atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang
dimiliki oleh signifian). umpamanya tanda linguistik berupa ( dalam bentuk
ortografis) <meja> terdiri dari komponen signifian, yakni berupa
runtunan fonem /m/, /e/, /j/, /a/, dan komponen signifiannya berupa berupa
konsep atau makna ‘sejenis perabot kantor atau rumah tangga’. Tanda linguistik
ini yang berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan fonem ini
mengacu pada sebuah referen yang berada diluar bahasa.
Dengan demikian, menurut teori yang
dikembangkan dari pandangan ferdinand de Saussure bahwa makna adalah
‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda-linguistik, masalah kita sekarang, di dalam praktek tanda linguistik itu
berwujud apa? Kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata
atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki
oleh setiap morfem,
Memanag ada juga teori yang
menyatakan bahwa makna itu tidak lain dari pada sesuatu atau referen yang diacu
oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau
leksem itu mempunyai acuan konkret didunia nyata. Misalnya leksem seperti
agama, kebudayaan dan keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara
konkret.
D.
Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli,
makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem, jadi, makna
denotatif ini sebenarnya sama dengan leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna
denotatif ‘sejenis binatang yang bisa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya’.
Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil
dari ukuran yang normal’. Kata rombongan bermakna denotatif ‘sekumpulan
orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan’
Kalau makna denotatif mengacu pada
makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna
konotatif adalah makna lain yang ”ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan
kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh diatas, pada orang yang
beragama islam atau didalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif,
ada rasa atau perasaan yang tidak tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus
juga pada contoh diatas, berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai
rasa yang mengenakkan (unfavorable). Tetapi kata ramping, yang
sebenarnya bersinonim kata kurus it memiliki konotatif positif, nilai rasa yang
mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng,
yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu,
mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan; orang akan
merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping dan kerempeng itu dapat
kita simpulkan, bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai makna yang
sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama; kurus
berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi
negatif. Bagaimana dengan kata rombongan dan gerombolan? Manakah
yang berkonotasi positif dan mana pula yang berkonotasi negatif?
Berkenaan dengan masalah konotasi ini, satu hal yang harus anda
ingat adalah bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dan orang
lain, antara satu daerah dengan daerah lain. Begitulah dengan kata babi di atas; berkonotasi negatif bagi
yang beragama islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar